Sunday, August 21, 2011

Pelacur

........Ayah. Ya, sesosok pria bertangan hangat yang menjamah aku yang sedang hancur, aku yang absurd, aku yang memiliki tatapan kosong saat itu adalah Ayah. Direngkuhnya jiwa yang terkejut akan hantaman godam yang menyisakan lebam pada bayanganku. Samar. Tak terlihat, namun masih dapat bisa kurasakan. Tatapan kosong yang kuperlihatkan, bak cakrawala kelabu yang kehilangan Sang Jingga dari hidupnya. Mungkin terlihat sesaat, namun aku selalu berusaha menyembunyikannya. Cemooh terdengar dari segala penjuru mata angin, tiap sudut kecil menyisakan gaung yang tak kerap berhenti. Menyisakan luka bernanah penuh belatung yang tak kunjung kering. Tatapan sinis dari setiap sosok yang kulewati disetiap persimpangan jalan, tatapan yang menusuk jauh ke dalam sanubari sedingin hembusan angin yang bertiup di musim penghujan. Seakan melucuti jiwaku tanpa menyisakan sebersit detak jantung. Perlahan mulai terbentuk genangan dibawah mataku, menjadikan seluruh cahaya yang tersaring oleh retina berpendar bagaikan pelangi dalam sentuhan lembut, seakan menghiburku dengan goresan warna yang terproyeksikan di alam fanaku. Ilusi sesaat. Cekikan tajam menghentikan nafasku dalam sekejap, saluran yang menghubungkan paru-paruku dengan alam bebas seakan terputus oleh sayatan belati yang penuh darah dan kebencian. Aku dapat merasakan pupilku membesar, seakan ingin meloncat keluar dari mataku. Genangan yang semula hanya berupa danau, kini berubah menjadi aliran sungai, melewati dinginnya bukit yang tertutup putihnya salju dengan semburat merah muda yang berasal dari bunga liar yang tumbuh disela-sela bebatuan. Seakan terjebak dalam labirin kehidupan, aku berlari menyusuri koridor-koridor gelap penuh gelak tawa, penuh bayang-bayang iblis yang selalu menghantui, penuh gema cercaan yang tercipta dari bisikan-bisikan halus. Perih. Mereka pikir aku pelacur. Tawaran demi tawaran mulai berdatangan tak kunjung henti, layaknya hujan di pagi hari pada bulan Februari. Ketukan acak tanpa rima pada kayu jati tua pintu rumahku tak kunjung usai. Derik pada pagar besi karatanpun tak kunjung mereda. Tanpa sepatah kata ibu pun meninggalkanku seorang diri. Terpancar kekecewaan tanpa batas, bagaikan bentangan khatulistiwa yang tak pernah menyentuh bumi. Diam. Sepi. Stagnan. Dan tak pernah ada lagi senandung lirih keluar dari bibir ibu. Hingga ayah harus merantaiku diruang bawah tanah. Sunyi senyap, hanya suara tetesan air yang terjatuh dari atap yang bocor menuju dasar mangkok tatakannya. Lemah tak berdaya. Jiwaku tak nampak lagi disana, hanya seonggok tubuh dirantai ke lantai beton yang tersisa ditengah mencekamnya ruang bawah tanah, ditengah suara gemeretuk gigiku, ditengah udara dingin yang merobek kulit. Apakah ini mimpi? Tuhan, apakah engkau akan mengirimkan sesosok pangeran tampan berkuda putih yang akan mempertaruhkan jiwanya melawan seekor naga dan mengecup lembut sang putri agar terbangun dari tidur panjangnya? Khayalan belaka.........