Saturday, August 27, 2011

Kelambu Malam

Ketika kemilau keemasan mulai pudar tertutup gelapnya gaun malam sang rembulan. Saat kicau burung kenari tergantikan oleh kukukkan burung hantu, seakan menangis pilu ditengah udara dingin yang menusuk jauh kedalam relung. Hembusan angin malam menaikkan bulu kuduk. Menerawang jauh kedalam pekatnya jubah beludru sang malam. Kosong. Hampa. Pecahan gelas kristal berserakan di lantai marmer, menyayat lembut telapak kaki. Dalam. Jauh menembus kulit dan daging. Merah. Segar. Layaknya langit dikala senja. Semerah kelopak mawar. Menghilangkan dahaga para lintah. Gelak tawa anjing hutan menggema dibalik pepohonan, menakuti para kelinci. Menjadikan malam semakin mencekam. Pemburu bayangan memasang perangkap manis bagi para merak. Keringat dingin mengalir melewati pelipis, menetes membasahi pipi. Sunyi. Senyap. Bagaikan dibungkam pelat baja. Terbisu. Hilang akal. Berlinangan air mata. Ketika para rubah menghampiri, menjilati air mata, bergelung di sekeliling. Mencoba menghangatkan tubuh sang peri. Mengumpulkan serpihan kristal, menempanya menjadi sebuah liontin kecil berbentuk hati. Terisak dan tersedu, serigala hutan melolong pilu bersamanya. Desir angin berbisik lembut di telinganya, seakan memberikan kenyamanan. Ditengoknya pekarangan yang kini tertutup serpihan serta runtuhan tembok permata. Luluh lantah tak bersisa. Meninggalkan jejak Sang Fajar yang perlahan menghilang terhapus oleh rintik hujan. Kelopak bunga terindah dari seluruh penjuru negeri mulai layu, melenyapkan wangi pekat yang selalu menyerbak diseluruh istana. Kering kerontang. Dentingan piano yang sering terdengar kini tergantikan oleh gema lonceng tua yang suram. Senandung lirih nan ringan Sang Peri kini tergantikan dengan rintihan dan isakan sendu.
Ketika Sang Fajar kembali kepelukkan Sang Mentari. Membuka kembali luka lama dihatinya. Merenggut semua kebahagiaan Sang Peri dalam sekejap. Menyisakan puing benteng yang selama ini dibangunnya. Tak bersisa. Tak berbentuk. Meninggalkan Sang Peri tanpa ucapan selamat tinggal. Tanpa jawaban. Tanpa alasan. Begitu saja. Melemparnya dalam lautan kekecewaan tak berbatas. Menghancurkan tembok harapannya. Merubuhkan tiang cintanya. Konkrit. Pilu. Hilang begitu saja.
Ya, baginya tak ada lagi kemilau keemasan miliknya. Pancaran hangat yang selalu menusuk lembut jauh kedalam kulitnya. Belaian penuh makna. Senandung seindah genta angin kesayangan Sang Ratu. Nyanyian lembut pengantar tidur baginya. Terpojok disalah satu sudut ruangan. Hampa. Gelap. Berusaha melihat jauh kedalam kegelapan dengan pandangan nanar. Secercah cahaya terproyeksikan di pengelihatannya. Memunculkan rasa keingintahuannya. Diusapnya air mata yang membasahi pipinya. Berfikir. Mencoba menggapainya. Sayup terdengar suara merdu dan lirih memanggil namanya. Menembus pikiran. Menggema lagi namanya, dibalik pepohonan, jauh kedalam pekatnya hutan. Terpikat gemerlap lembut kunang-kunang, berusaha menghampiri suara lembut yang memanggil alam bawah sadarnya, berjalan melewati gerbang istana. Rambut panjang yang sehitam kayu eboni terjuntai dibalik bahunya, melambai tertiup angin seolah menari - nari. Kulitnya berkilau dibawah cahaya perak sang rembulan. Putih, pucat, bagaikan porselen. Tatapan tajam namun kosong yang terpancar dari matanya membuat para penjinak malam tak bernyali mendekatinya atau bahkan menatapnya. Bagaikan pembunuh berdarah dingin yang dapat membunuh siapa saja demi kesenangan. Tudung merah yang dikenakannya membuatnya terlihat seolah bersimbah darah segar. Ditemani seekor buruh hantu seputih salju yang bertengger dibahunya. Dalam langkah tak terdengar. Tertelan pekatnya jubah sutera sang malam, jauh kedalam hutan terlarang. Terlindungi oleh pepohonan berduri, semak beracun, dan para naga. Hilang bersama semerbak bunga lili. Terlilit sulur biru yang menuntunnya keistana baru. Lenyap selamanya dibalik misteri bayangan sang rembulan.