Sunday, August 21, 2011

Jingga

........... Kudengar deru mesin mobil diluar jendelaku, “Jingga, kaukah itu?” Bisik hati kecilku. Ku curi sepintas bayangan dari korden transparan berwarna gading. Waktu menunjukkan pukul 12 siang, lalu 3 sore, 6 petang, 9 malam, namun Jingga tak pernah hadir. Tak sedikit pun terlihat di penjuru kota. Oh, aku lupa, Ia sedang mengejar impiannya di pulau yang berbeda. Hari demi hari, minggu demi minggu ku tunggu. Tetapi, Jingga tak pernah muncul. Putus asa. Hilang arah. Layar kapalku patah dihantam badai yang menerjang tanpa ampun. Tubuhku terasa ringan, tanpa beban, mengambang, jiwaku berkelana di alam yang lain. Pikiran tentang dirimu tak pernah pergi dari otakku, tak lekang oleh waktu. Perasaan ketika aku terlalu mencintaimu sehingga terlalu sulit untuk melepaskanmu, terbang bebas menembus birunya langit begitu saja. Sesekali dimalam bulan purnama, ditemani lolongan serigala kesepian, aku terdiam, lalu terisak, Jingga, pulanglah. Aku rindu kepadamu. Puluhan surat cinta ditujukan atas namaku, tak satupun ku hiraukan. Karena aku pernah berjanji padamu Jingga, aku menunggu mu, aku milikmu seutuhnya. Terpisah bentangan samudera biru, tak pernah sedikitpun ku dengar kabar darimu. Hilang bagaikan ditelan gulungan ombak. Apakah masih ada aku di hatimu, Jingga? Apakah kau masih ingat kepadaku dikala namaku tak sengaja diucap? Ketika semerbak bunga sedap malam tercium di penjuru langit malam penuh bintang layaknya beludru yang menyelimuti horison? Diam. Tanpa kata. Tak terjawab. Sorot hangat penuh kasih yang terpancar dari mataku kini telah sirna. Pribadi keibuan yang biasanya nampak tak kunjung hadir. Sikap manja yang membuat semua orang menggelengkan kepala lenyap sudah. Mati rasa. Dingin. Skeptis. Sinis. Sarkastik. Aku berubah menjadi sesosok monster berdarah dingin tanpa hati, tak pandang bulu, kejam, buas, liar. Meragukan semua pemburu yang berusaha menangkapku, menganggap remeh semua jebakan yang disiapkan untukku, mengejek semua usaha untuk membunuhku karena bagiku itu semua hanya permainan anak kecil. Terbiasa hidup sendiri, jauh di pedalaman hutan belantara yang tercipta dari imajinasi, dikelilingi benteng setinggi angkasa berlapis tujuh yang terbuat dari batuan mulia terbaik dari seluruh penjuru negeri. Aku merasa aman, tentram, damai, sentosa. Negeri dibalik tembok yang takkan pernah kau ketahui isinya. Berbulan-bulan lamanya, kini katakanlah Jingga, apakah kau masih dapat memberikanku 1001 alasan agar aku bertahan? Supaya aku tetap menunggumu tanpa lelah? Alasan agar aku tetap mencintaimu sedalam itu? Ucapkan dengan lantang Jingga, apakah kau masih mencintaiku? Menginginkanku? Membutuhkanku? Sunyi senyap. Tak ada gema suara lantangmu mengaung di bebatuan jurang yang mengantarkanku ke lautan bebas. Ingin aku terjun kedalam dinginnya air laut. Hilang ditelan makhluk dasar laut yang menganggapku plankton kecil sarapan di pagi hari. Lenyap sudah pelukan hangat penuh cintaku untukmu. Kupacu detak jantungku, tertahan amarah bagaikan bom waktu yang dapat meledak kapan saja. Mungkin saja saat ini. Mungkin juga tidak. Tak ada lagi seonggok cintaku yang tersisa untukmu. Kau tak pernah membebaskanku dari belenggu kelam yang mengunci diriku di ruangan sempit dan kumuh itu, kau tak pernah memutuskan rantai besi yang kini menjadi bagian hidupku. Aku hancur, Jingga. Kini giliranmu untuk mengerti. Selamat tinggal, Jingga. Selamanya.............