Sunday, August 21, 2011

Fajar

.......... Kemilau emas menerawang melewati tipisnya korden gading kamarku. Cahaya lembut matahari pagi membelai halus wajahku. Suatu permulaan. Awal yang baru. Perlahan kulepas selimut biru yang membalut mesra tubuhku. Dapat kurasakan betapa hangatnya cahaya matahari yang menembus celah kamarku. Perlahan, aku berjalan keluar menuju halaman, aroma rumput segar yang dibasahi oleh embun pagi menggelitik lembut telapak kakiku, aku menari bermandikan cahaya sang surya diiringi kicau lembut burung kenari yang sedang jatuh cinta di musim semi. Percikan embun yang jatuh tertiup desir angin membasahi wajahku. Gemericik air kolam terdengar merdu, menjadi suatu melodi yang melebur indah berpadu satu dengan alam, menciptakan simfoni familiar yang sekian lama tak kudengar. Kulumuri tubuhku dengan aliran air yang seakan melepaskan semua beban pikiranku, menelanjangi alam bawah sadarku. Terkesima. Sudut kecil terbentuk di wajahku, seulas senyum mungil menghiasi wajahku yang kemudian berubah menjadi gelak tawa lepas tanpa batas. Dentangan lonceng membuyarkan drama musikal yang sedang kumainkan bersama alam. Kilau lembut Sang Fajar membenahi helai rambut yang terjuntai menutupi wajahku. Terkejut. Diam tanpa kata. Kupandangi sosok asing yang memasuki pekarangan halamanku dengan tatapan datar. Tanpa ekspresi. Sepintas terfikirkan olehku untuk berlari, bersembunyi di salah satu menara istanaku. Namun aku diam tak bergerak. Memandangi Sang Fajar dengan tatapan kosong tanpa makna. Dengan sabar ia mencoba merengkuhku, tatapan lembut miliknya hampir sehalus tatapan yang dimiliki oleh Ayah. Sang waktu berlari mendahuluiku, membiarkanku menghabiskan waktu bersama Sang Fajar. Dibanjirinya aku dengan mata air pegunungan yang ia miliki, seakan berharap mampu menghilangkan dahaga yang kurasakan. Berkutat dengan benteng batuan mulia yang kumiliki, terkikis satu lapis. Dua lapis. Hingga tiga lapis. Tak pernah goyah keinginannya untuk membuka pintu gagang pintu istanaku yang terbuat dari emas dihiasi berlian merah muda yang berpijar bak pelangi jika tersorot oleh cahaya matahari. Kutatap Ia dari kejauhan dengan tatapan heran. Terpana. Otakku dipenuhi sejumlah pertanyaan. Mengapa? Bagaimana? Apa? Ragu pun mulai menyapaku secara perlahan. Apa yang harus kulakukan? Berbagai cara dilakukannya agar dapat bisa menyapaku di pagi hari, pancaran lembut tertata rapi bagaikan lukisan yang dibingkai oleh pigura emas. Ratusan buket bunga terindah dari berbagai penjuru negeri tersebar di halamanku, menebarkan semerbak harum yang menusuk pikiran. Klise. Namun indah. Seakan membuatku ingin menari diiringi dentingan piano yang menyenandungkan irama klasik kesukaanku. Sepucuk pesawat kertas mengetuk lembut dahiku, coretan puisi berima teratur tergores disalah satu sisinya. Setitik kecil air membasahi tinta yang dengan cepat memudar menjadi noda hitam acak yang abstrak namun masih bisa terbaca olehku. Perasaan itu muncul lagi. Seakan berusaha melepas ikatan mati yang berada diluar kotak kayu usang yang telah lama tak dibuka, mencoba mencari celah semu agar bisa menghirup udara bebas. Degup jantung terdengar semakin keras, memecahkan kesunyian. Panik. Seakan negeri khayalanku di bombardir tanpa henti dari daratan, lautan, dan udara. Mencoba menelaah semuanya. Hangat. Nyaman. Seakan tak ingin lepas. Hati, otak, dan harkatku berperang tanpa henti. Menyisakan aku yang skeptis dengan tatapan tanpa makna memandang jauh melewati batas nalar. Cinta? Tidak. Pola pikir ku menolak mendengar jeritan pilu perasaanku. Membisu. Apakah aku masih dapat merasakannya? Atau sang waktu perlahan mengikis memori tersebut? Apakah aku masih memiliki perasaan itu? Ataukah hatiku telah membeku sekeras batu? Ketika desahan kata cinta terlalu banyak diucapkan sehingga aku tidak lagi mempercayainya ketika kata itu diucapkan secara nyata. Menginginkannya. Namun aku takut terjerembab di jurang yang sama, terjatuh di pelukan sesat lainnya. Kata demi kata terucap, pancaran hangat yang diberikannya tak pernah berubah maupun berkurang sedikitpun. Melihatku sebagai suatu kesatuan yang tak dapat dipecah, mencintaiku dengan segala kecacatan yang meninggalkan bekas di bagian tertentu tubuhku, menerimaku sebagai suatu pola unik tersendiri, menjadikanku salah satu bagian dari pancaran keemasan yang dimilikinya. Polesan sempurna yang terbentuk dari sisi gelap menuntunku menjadi sesosok karakter yang berbeda, diktator perfeksionis yang mengerikan. Apakah benteng tinggi berlapis tujuh yang menjulang hingga ke angkasa bertahtahkan batuan mulia terbaik di seluruh negeri itu telah hancur? Apakah Sang Fajar dapat meluluhkan hatiku yang sedingin es dan memanjat menara kamarku hanya untuk menyenandungkan nyanyian pengantar tidur untukku? Menaklukan arogansi tanpa akhir yang kumiliki? Tidak ada yang pernah tahu. Teka-teki tersendiri. Misteri yang tak terpecahkan. Kabut kelabu perlahan mulai pudar, tergantikan hangatnya cahaya keemasan yang selalu menusuk jauh kebalik kulitku. Cahaya harapan yang menuntunku menemukan corak senja lainnya. Namun ia bukanlah senja, melainkan singsingan fajar yang mengawali hari-hariku. Permulaan cerita lainnya. Aku jatuh cinta kepada cahaya keemasan itu. Jatuh cinta kepada hangatnya pancaran sinar yang menusuk lembut jauh kedalam kulitku. Jatuh cinta kepada usapan lembut di kepalaku. Jatuh cinta pada senandung yang senyaring genta angin kesayangan ibuku. Aku jatuh cinta kepadamu, Sang Fajar.